I'm deaf, but I'm not stupid

I'm deaf, but I'm not stupid. Everyone has advantages and disadvantages.

Aku tuli, tapi aku tidak bodoh. Setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan.

Sering sekali aku merasa ketulianku membuat aku tampak bodoh. Hambatan dalam komunikasi membuat aku terkalahkan dalam semua aspek kehidupan bila berhadapan dengan orang-orang normal.

Padahal, sesungguhnya tidaklah seperti itu. Walaupun tuli, tetapi otakku tidak bermasalah. Aku, kita, memiliki potensi yang sama dengan mereka yang tidak memiliki hambatan komunikasi.

Lalu apa masalahnya dan bagaimana mengatasinya?

Semua karena hambatan, hambatan ini seperti jurang yang memisahkan dua daratan. Namun lihatlah jurang-jurang yang terpisah ini, kini telah dapat teratasi dengan menciptakan jembatan.

Sepertinya itulah yang selama ini kita butuhkan, jembatan yang menghubungkan dua daratan. Jembatan tersebut bisa berupa bahasa oral, bahasa tulisan, dan tentunya bahasa isyarat.

Dari ketiga jembatan tersebut, oral itu bagus, bisa membuat orang tuli lebih mampu menyerap kosa-kata dalam bahasa Indonesia. Hal ini telah dipraktekan oleh beberapa sekolah SLB maupun inklusi. Tapi kekurangannya adalah, seberapa mampunya pun kita menggunakan bahasa oral, tetap saja bila kita bandingkan antara tuli dengan kemampuan bahasa oral dengan orang normal, jelas kaum tuli ini berada di drajat paling bawah.

Sebagai contoh, A adalah seorang normal, B adalah orang tuli, dan C adalah orang normal pemberi aba-aba. Coba bayangkan ketika si C mengeluarkan aba-aba dalam bentuk suara berkata "MAJU", si A yang normal dapat dengan mudah menangkap suara dan memahami aba-aba si C, sedangkan si B yang tidak bisa mendengar pasti akan kesulitan mencoba memahami kata yang keluar dari mulut si C.

Akibatnya si A jelas lebih unggul daripada si B yang tuli. Hal ini berlaku dalam proses belajar di di sekolah inklusi/umum ataupun perguruan tinggi. Jelas tidak adil kan?

Jadi bagaimana dengan bahasa isyarat? Coba kita bandingkan secara terbalik contoh kejadian diatas dengan cara si C memberi aba-aba kata "MAJU" dalam bentuk isyarat. Bagaimana respon si A yang normal dan si B yang tuli dan mampu berbahasa isyarat? Jelas si A akan terhambat karena tidak mengerti isyarat dan si B akan langsung merespon tanpa hambatan.

Dari kejadian itu, tentunya tidak adil bagi si A. Nah, pembalasan. Namun yang kita cari adalah keadilan, persamaan, dan bukan diskriminasi. Jadi untuk lebih adil, kita hadirkan si A yang normal, si B yang tuli, jika si C pemberi aba-aba suara, maka kita hadirkan si D sebagai interpreter yang menerjemahkan aba-aba dalam bentuk isyarat. Sehingga si A yang normal ataupun si C yang tuli akan dapat merespon dengan cepat semua aba-aba dari si C dan D. Hal ini yang kita butuhkan dalam proses pembelajaran di sekolah maupun kuliah.

Sehingga walaupun kami kaum tuli tidak dapat mendengar, tetapi tetap mampu mengeluarkan potensi-potensi yang tersimpan dalam diri kami. Kami yakin dengan memanfaatkan jembatan (oral, tulisan, dan isyarat) kami bisa terhubung dengan ilmu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuli (Deaf)

The Little Hijabi Home Schooling

Pengertian Difabel dan Disabilitas