Tuli (Deaf)
Pengertian Tuli
Ketulian adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mampu
menangkap suara melalui gelombang audio, mereka hanya memanfaatkan
kemampuan visual untuk mendapatkan suatu informasi. Kecuali, jika masih
terdapat sisa pendengaran yang masih dapat digunakan. Pada dasarnya, seseorang yang dikatakan tuli dapat juga mendengar suara dalam frekuensi decibel tertentu dimana kemampuan tersebut ada yang masih dapat dimanfaatkan, namun ada juga yang tidak.
Kutipan dari Tati Hernawati dalam karya ilmiahnya berjudul
“Pengembangan Kemampuan Berbahasa Dan Berbicara Anak Tunarungu” Jurusan
PLB FIP Universitas Pendidikan Indonesia (2007). Anak tunarungu adalah
anak yang mengalami gangguan pada organ pendengarannya sehingga
mengakibatkan ketidakmampuan mendengar, mulai dari tingkatan yang ringan
sampai yang berat sekali yang diklasifikasikan kedalam tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing). Hallahan & Kauffman (1991:266) dan Hardman, et al (1990:276) mengemukakan bahwa orang yang tuli (a deaf person)
adalah orang yang mengalami ketidakmampuan mendengar, sehingga
mengalami hambatan dalam memproses informasi bahasa melalui
pendengarannya dengan atau tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aid). Sedangkan orang yang kurang dengar (a hard of hearing person)
adalah seseorang yang biasanya menggunakan alat bantu dengar, sisa
pendengarannya cukup memungkinkan untuk keberhasilan memproses informasi
bahasa, artinya apabila orang yang kurang dengar tersebut menggunakan hearing aid, ia masih dapat menangkap pembicaraan malalui pendengarannya.
Samuel Kirk dalam bukunya yang berjudul Educating Exceptional Children 12th Ed (2009) menjelaskan bahwa istilah
Tuli (Deaf) merujuk pada kondisi dimana seseorang mengalami
ketidakmampuan untuk mendengar, sedangkan istilah kurang dengar (hard of
hearing) merujuk pada semua istilah kehilangan pendengaran.
Dari penjelasan diatas dapat dismpulkan bahwa ketulian dapat dibagi menjadi tuli total (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing).
Sedangkan menurut Alies Poetri Lintangsari dalam Indonesian Journal of Disability Studies berjudul “Identifikasi Kebutuhan Mahasiswa Tuli Dalam Pembelajaran Bahasa Tulis” PSLD Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia (2014). Dalam hal definisi, ketulian dapat di pandang dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang medis dan sudut pandang sosial budaya. Berikut penjelasan tentang ketulian dari kedua sudut pandang tersebut.
Ketulian dalam sudut pandang medis
Dari sudut pandang medis, ketulian merupakan kondisi dimana
seseorang tidak bisa mendengar dikarenakan mengalami gangguan atau
kerusakan pada organ telinga bagian dalam. Sehingga masih banyak yang
berpikir bahwa ketulian sebagai suatu penyakit dan harus berusaha
disembuhkan melalui pengobatan resmi ataupun pengobatan alternatif.
Akibat pemikiran tersebut banyak para orang tua atau keluarga yang
memiliki anak Tuli yang berpikir bahwa mereka harus terus melakukan
pengobatan karena yakin bahwa anaknya bisa disembuhkan, oleh karenanya
mereka menjadi terfokus pada usaha penyembuhan daripada memaksimalkan
potensi diri Tuli yang sebenarnya mampu menjadi seorang Tuli yang cerdas
dan sukses melalui aksesibilitas seperti bahasa isyarat. Pandangan
pertama ini hanya terfokus pada apa yang tunarungu tidak bisa lakukan
(mendengar) dan mengabaikan banyak hal positif yang terdapat dalam diri
Tuli. Ini adalah sudut pandang yang sempit dan negatif karena memandang
Tuli sebagai orang yang perlu dibantu dan membutuhkan obat.
Dari sisi medis juga ketulian dapat bedakan menurut tingkat sejauh
mana ketulian yang dialami tersebut. Tingkat ketulian diukur dari
kemampuan seseorang menerima suara yang diukur dalam desibel. Kehilangan
pendengaran antara 15 -20 desibel masih dianggap ringan, kehilangan
pendengaran tingkat ringan (20-40 desibel) sampai sedang (40-60 desibel)
dan kehilangan pendengaran tingkat sedang hingga berat (60-80 desibel)
atau bahkan parah (lebih dari 80 desibel), Indonesian Journal Of
Disability Studies, “Identifikasi Kebutuhan Mahasiswa Tuli Dalam
Pembelajaran Bahasa Tulis” Oleh : Alies Poetri Lintangsari, Pusat Studi
dan Layanan Disabilitas, Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia
(2014).
Ketulian dalam sudut pandang sosial budaya
Sedangkan jika ketulian dipandang dari sudut pandang sosial-budaya,
Tuli merupakan suatu kelompok masyarakat yang memiliki kultur dan bahasa
yang menjadi identitas masyarakat Tuli. Dalam sebuah acara seminar yang
diadakan Laboratorium Riset Bahasa Isyarat Universitas Indonesia
(LRBI-UI), Tuli bukan merupakan kecacatan, bukan pula difabel atau
disabilitas fisik, melainkan sebuah kelompok minoritas linguistik,
pengguna bahasa isyarat. Tuli adalah pernyataan kultural sebagai
identitas budaya tuli. Dikatakan demikian karena budaya tuli memiliki
bahasa, sejarah, sistem nilai, tata perilaku, sistem kepercayaan,
tradisi, sistem kemasyarakatan, perjuangan, dan kesenian seperti yang
dimiliki oleh hearing (orang dengar), hanya saja memiliki perbedan tersendiri yang menjadi ciri khas suatu komunitas masyarakat budaya. (Seminar
Bahasa Isyarat: Sebuah Karya Menembus Keterbatasan, oleh: Adhi Kusumo
Bharoto, LRBI FIPB Universitas Indonesia, 12 November 2015).
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa masyarakat Tuli adalah
masyarakat yang hanya berbeda dalam bahasa seperti halnya perbedaan
bahasa antara orang Indonesia dengan orang luar negeri semacam Inggris,
Jepang, Cina atau Amerika. Masing-masing memiliki bahasa yang berbeda,
kita baru dapat berkomunikasi jika ada yang mampu menerjemahkan
Menurut pandangan ini ketidakmampuan untuk menerima informasi melalui
gelombang audio tidak harus menjadi karakteristik satu-satunya yang
menentukan jati diri setiap individu atau kelompok. Akan lebih baik dan
inklusif apabila melihat Tuli dari sisi positif, apa yang bisa mereka
lakukan daripada apa yang tidak bisa mereka lakukan. Karena sesungguhnya
seorang Tuli memiliki potensi dasar yang sama dengan hearing.
Dengan memandang ketulian dari sudut pandang budaya maka akan
memberikan pemahaman positif bahwa ketulian bukanlah sebuah kondisi
kerusakan fisik melainkan kondisi sosiokultural yang selama ini
mengabaikan identitas sosiokultural maysarakat Tuli terutama dalam hal
bahasa. Perubahan permaknaan budaya tuli (patologis) menjadi Tuli (sosiokultur) mengindikasi
bahwa ketulian merupakan sebuah identitas budaya yang memiliki
karakteristik tertentu, karena itu pula masyarakat Tuli memilih istilah Tuli daripada tuna rungu, karena tuna rungu mengindikasi adanya kekurangan atau kerusakan.
Kemampuan Berbahasa Kaum Tuli
Ketulian dapat terjadi sejak lahir dan bersifat bawaan, atau terjadi
ketika masa pertumbuhan. Ketulian yang terjadi sebelum masa penguasaan
bahasa disebut sebagai prelingual deafness (ketulian prabahasa), sedangkan ketulian yang terjadi selama atau setelah penguasaan bahasa disebut sebagai postlingual deafness (ketulian pasca bahasa). Waktu
ketulian sangatlah penting karena hal ini berpengaruh pada komunikasi
awal seorang anak, pemerolehan bahasa dan perkembangannya. Apabila
ketulian bersifat bawaan atau terjadi sejak lahir, seorang anak tidak
akan memiliki pengalaman dalam mengenali suara sehingga berdampak pada
kesulitan yang dialami dalam memahami dan memproduksi sebuah ujaran.
Apabila ketulian terjadi sebelum masa penguasaan bahasa, maka proses
komunikasi di pengaruhi oleh bahasa dasar yang sempat diperoleh selama
masa pra bahasa dan bagaimana seorang anak dapat mengaksesnya untuk
menunjang komunikasi (Kirk et.al, 2009).
Di Indonesia ketulian prabahasa disebut Tuli sedangkan ketulian pasca
bahasa lebih sering disebut separuh, hal ini dikarenakan orang yang
tuli setelah menguasai bahasa pernah merasakan bagaimana menjadi orang
dengar (hearing) dan memiliki kemampuan dalam memahami seperti halnya orang-orang dengar (hearing).
Jadi orang separuh adalah seperti setengah orang dengar dan setengah
orang Tuli (orang Tuli dengan kemampuan seperti orang dengar).
Selain faktor diatas, faktor-faktor penting yang dapat mempengaruhi
perkembangan kemampuan berbahasa seorang anak tuli sejak dini adalah
proses pendidikan serta pengaruh lingkungan seperti lingkungan keluarga,
sekolah, dan lingkungan pergaulan. Jika seorang anak yang terlahir tuli
dari lingkungan keluarga yang peduli misalnya, seorang anak diusahakan
diajari kata-kata dalam bentuk ucapan, isyarat, gambar, atau tulisan.
Jika hal itu berlangsung sampai dewasa, maka bukan mustahil bahwa
seorang anak tuli yang tumbuh dari keluarga seperti itu akan memiliki
kemampuan yang lebih baik dalam berbahasa dan berkomunikasi. Begitu pula
lingkungan pendidikan dan pergaulan, bahwa lingkungan tersebut akan
memberi pengaruh yang besar terhadap perkembangan kemampuan berbahasa,
serta kemampuan komunikasi seorang anak tuli.
Tapi sayangnya, hal itu sangat jarang terjadi. Buktinya masih banyak
anak-anak SLB dan lulusannya masih kurang dalam kamampuan baca-tulis.
Kutipan dari Project Isara, Dokumen Analisis Kebutuhan, oleh :
DreamBender (2013) menyatakan, laporan dari WFD (World Federation for
the Deaf) terdapat 70 juta komunitas Tuli di seluruh dunia, dimana 95%
dari mereka yang berusia 10-17 tahun justru memiliki kemampuan
baca-tulis yang rendah dibandingkan anak yang mendengar normal usia 9-10
tahun. Hal ini juga terjadi di Indonesia, rata-rata anak-anak Tuli
sampai dewasa Tuli memiliki kemampuan baca-tulis yang rendah dibawa
rata-rata anak yang mendengar normal usia 9-10 tahun. Mereka yang lulus
dari SLB B maupun lulus SMA umum ,dan sebagian kecil yang sempat
menuntut pendidikan tinggi di Universitas pun mengalami kesulitan dalam
memahami bacaan dan tulisan dalam bahasa Indonesia.
Kebutuhan Informasi dan Komunikasi kaum Tuli
Karena ketidak mampuannya seorang tuli untuk mendengar, maka mereka
memiliki hambatan dalam akses untuk memperoleh infomasi dalam berbagai
bidang. Sedangkan informasi adalah suatu hal yang sangat penting dalam
menambah pengetahuan dan wawasan terbaru serta
pemberitahuan-pemberitahuan yang kita butuhkan setiap hari-hari.
Misalnya, seorang mahasiswa Tuli ketika baru masuk kuliah di sebuah
Universitas. Pada hari-hari pertama ospek atau PPU, bukan mustahil ada
banyak kesalahan-kesalahan seperti terlambat, pakaian yang salah, atau
tidak membawa alat-alat yang diperintahkan dikarenakan dia tidak bisa
mendengar informasi yang diberikan oleh panitia. Hal tersebut pernah
dialami secara pribadi oleh salah satu penulis ketika pertamakali masuk
kuliah di Universitas Widyatama. Baru setelah adanya grup chating messenger, penulis dapat menyesuikan diri dengan keadaan berkat informasi-informasi yang didapatkan melalui obrolan grup tersebut.
Hal ini membuktikan bahwa media komunikasi bagi Tuli dapat dikatakan
sangat penting untuk membantu memudahkan akses informasi yang dibutuhkan
dalam kegiatan-kegiatan sehari-hari. Oleh karenanya dapat kita lihat
banyaknya kau Tuli yang menggunakan gadget sebagai media komunikasi
selain orang hearing.
Oleh : Dadi AL- dan Tim PKM-GT 2016
Komentar
Posting Komentar