The Lost World



Ketuna runguan yang kualami sejak umur 12 tahun ini telah mengahcurkan separuh dari hidupku, kehidupan diperkampungan yang minim akan informasi sangat tiada menguntungkan aku. Sehingga, akupun kehilangan hampir semua mimpi-mimpiku.

Sejak saat itu aku hanya bisa membeku, sedangkan dunia disekitarku terus berlalu bersama waktu. Aku kehilangan waktu hingga bertahun-tahun lamanya, aku tiada bisa menikmati masa-masa indah keremajaaku. Aku hanya bisa menatap dunia dibalik kaca jendela, seolah-olah aku adalah seorang Drakula yang peka terhadap cahaya. Aku mengasingkan diriku dalam kesunyian, aku bernyanyi, sendiri dalam sepi, mengunjungi dunia-dunia dalam mimpi.

Dalam kesendirian itu, aku hampir tiada lagi bisa membedakan antara dunia ini dan dunia-dunia dalam mimpiku. Aku menciptakan banyak cerita, namun aku tak mampu untuk merekamnya dengan tulisan-tulisan. Semua hanya mampu teringat sekejap dalam memori ingatanku yang sewaktu-waktu akan terkubur dan menghilang dalam bayangan temaram yang semakin hari semakin padam. Semua tiada lebih dari pelipur hati dan pengisi hari sebelum aku mati.

Sampai suatu hari aku mulai menyadari, aku tidak bisa terus hidup seperti ini, hanya menunggu mati yang entah kapan akan mendatangi. Aku ingin bercerita tentang apa yang aku rasa pada keluargaku. Ah, tapi aku malu! Akupun hanya bisa memendam keinginanku itu.

Sampai bertahun-tahun itu, akhirnya aku kehilangan ayahanda tercintaku. Dan aku sadari, suatu hari nanti orang-orang yang aku kasihi dan mengasihi aku, satu per satu akan pergi, lalu aku akan benar-benar sendiri dan entah siapa lagi yang akan peduli.

Sejak itu akupun mulai berani dan mencoba untuk mengungkapkan segala isi didalam hati. “Bu, aku ingin pindah ke kota dengan kakak!”

Ibuku menatapku tiba-tiba, kemudian bertanya. “Mau pindah ke kota buat apa?”

Rupanya ibuku belum menyadari dan memikirkan nasib hidupku dimasa depan, aku pun mulai bercerita. “Ibu, saya ingin belajar untuk bisa bekerja supaya bisa mandiri. Bu, saya memikirkan bagaimana nasibku nanti, jika semua orang pergi meninggalkan aku sendiri? Bu, saya tidak bisa apa-apa, tidak punya apa-apa. Bagaimana saya akan hidup, bagaimana saya mencari makan? Saya tidak bisa apa-apa bu!”

Ibuku terdiam, teringat akan kulitnya yang sudah keriput, dan tenaganya yang mulai melemah menandakan bahwa ia sudah mulai menua. Ibuku menunduk, sedang aku sendiri mulai merasa sedih takut membuatnya menangis. Ibuku mengambil telepon dan mulai menelepon saudariku, mereka sepakat untuk memasukan aku ke sebuah SLB.

SLBN/B Pembina Tk. Prov. Sumedang Jawa Barat, disanalah akhirnya aku mencoba membangun kembali reruntuhan mimpi yang telah menjadi puing. Aku menyadari ketinggalanku begitu jauh.

“Ya sudahlah, yang penting aku berusaha untuk mengejar ketinggalanku dengan memperluas wawasan dan menambah pengetahuanku, terutama dibidang keterampilan.” Gumamku sambil melangkah memasuki pintu gebang dunia baruku.

“Dani, kamu mau ikut gak ke Gunung Tampomas? Saya mau pergi memotret bersama teman-teman.” Suatu hari Ilham murid yang gemar memotret memintaku ikut pergi memotret ke Gunung Tampomas yang terletak diatas sekolah kami.

“Sama siapa?” Tanyaku

“Saya, Deden, Dede, Dodi, dan Bergas.” Jawabnya

“Kapan?” Tanyaku lagi.

“Besok pagi-pagi sebelum matahari terbit, soalnya saya mau memotret pemandangan dengan panorama cahaya.” Jawabnya

“Ya, baiklah! Tapi, Insya Allah dulu!”

Keesokan paginya kami berangkat menuju Gunung Tampomas, kami memulai perjalanan dari belakang asrama tempat tinggal kami dengan menuruni dan menaiki bukit yang dikelilingi dengan pepohonan dan keindahan pemandangan hutan disertai dengan hawa sejuk dipagi itu. Aku berjalan pelan ditengah kabut halimun sambil merasakan terpaan angin menyibak tubuhku.

Kuperhatikan Ilham yang sedang asyik memotret. Aku berpikir, jelas ia sudah memiliki tujuan hidup untuk dikejarnya, ia akan menjadi seseorang. Lalu aku betanya pada diriku sendiri. “Suatu hari aku akan menjadi apa?”

Aku berpikir dan berpikir lagi, perjalanan itu mengingatkan aku pada kisah petualangan dalam film “The Lost World”, sebuah petualangan ke dunia yang hilang. Dalam film tersebut, salah satu tokohnya yang tetap bertahan hidup adalah seorang penulis, yang menulis kisah itu dan mengabadikannya dalam sebuah buku.

Aku berpikir keras, inilah yang selalu aku ingini, menjadi seorang penulis. Akhirnya aku bertekad untuk membangkitkan kembali impian yang telah lama hilang, yaitu berusaha untuk menjadi seorang penulis. Aku berusaha mengukir kisah perjalanan hari itu dalam ingatan supaya nanti bila kami telah kembali, aku bisa menuliskannya dalam bentuk catatan perjalanan seperti di film The Lost World..

Perjalanan itu penuh canda tawa, kami harus naik turun gunung, keluar masuk hutan, sampai melintasi sungai dan padang gersang dengan debu-debu berterbangan, juga panas terik yang membakar membuat kami merasa seperti daging panggang. Perjalanan kami ini memang seperti di film The Lost World, hanya saja tidak ada hewan Dinosurus yang meneror kami
.
Kami senang dan tentunya sangat lelah, apalagi waktu itu tanggal 14 Agustus 2011 masih bulan puasa, dan kami melakukan perjalanan dalam keadaan menahan lapar dan dahaga. Kisah itu kuberi judul “Mencari Cahaya” dan inilah karya tulis pertamaku.

Sejak saat itu aku pun mulai berusaha untuk belajar menulis. Dalam perjalananku itu, aku menghadapi begitu banyak kesulitan, kegagalan demi kegagalan selalu kutemui disetiap tikungan. Namun, aku berusha untuk tidak menyerah, suatu hari pada suatu waktu, mungkin aku akan mampu menjadi seorang penulis dan membangun kembali puing-puing mimpi yang telah lama runtuh.

Sumedang, 06 April 2013

Biodata Penulis:
Namaku Al-Islamabad lahir di Tasikmalaya 17 April 1987, nama penaku Pujangga Deaf. Saya seorang tuna rungu tinggal di asrama SLBN/B Pembina Tk. Prov. Sumedang Jawa Barat, Jl, Margamukti, Ds. Licin, Kec. Cimalaka. Kab. Sumedang 45353.
Wassalam..
tulisanpertama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuli (Deaf)

The Little Hijabi Home Schooling

Pengertian Difabel dan Disabilitas