Secercah Cahaya dan Gerimis
“Assalamu’alaikum…
Afwan.” Fatimah berjalan dengan agak cepat, hingga saputangannya jatuh dan
tertiup angin menyibakkan jilbabnya yang longgar.
“”Wa’alaikumsalam…
Tafaddhol.” Segera kubalas ucapan salamnya, kemudian kubelokkan langkahku
mengejar saputangan yang terbang melintang tertiup angin kencang.
“Jazakumullah
khairan…” Fatimah, itu mengucapkan terima kasih kepadaku karena sudah kuambilkan
saputangannya.
“Aamiiin,
Waiyyaaka…” Jawabku dengan singkat, aku tidak bisa lagi berkata-kata.
Fatimah,
gadis itu langsung melangkahkan kakinya menuju kedalam madrasah, tak peduli
dengan suasana indah yang terjadi pada hari itu, atau mungkin dia hanya tidak
mau tergoda oleh setan-setan yang hanya mendatangkan dosa.
Pada
waktu itu aku tiada lain adalah murid baru pindahan dari sebuah madrasah dari
kota lain. Memang sudah suatu keharusan bagiku untuk menuntut ilmu di madrasah,
hal itu tiada lain adalah karena kedua orang tuaku seorang Ustadz dan Ustadzah
yang setiap hari memberi ceramah kepada Ibu-ibu dan Bapak-bapak di Majelis
Ta’lim.
Suatu
sore aku berjalan-jalan menyusuri sebuah
taman yang dikelilingi pepohonan dimana terdapat burung-burung kecil yang
bersarang saling menyahut berjuit-juitan. Aku duduk sebentar disebuah kursi
yang tersedia sambil kulantunkan syair yang mengalir dengan keindahan bak
sebuah sungai yang airnya jernih.
Fatimah
mucul bersama gadis-gadis lainnya sambil membawa buku pelajaran, entah apa yang
dilakukannya. Ia duduk dipinggir danau sambil membaca, lalu kuhampiri
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam…”
Fatimah menjawab singkat tanpa mengarahkan pandangannya dan tetap tertunduk
membaca bukunya.
“Lagi
baca buku apa?” Tanyaku.
“Buku
keajaiban karya Harun Yahya.” Jawabnya, dia tidak mengidahkan keberadaanku.
Justru
karena ketidak peduliannya itulah yang semakin membuatku tertarik akan misteri
gadis yang sangat suci dengan menjaga dirinya baik-baik, menjauh dari segala
godaan yang dengan mudah bisa sangat menyesatkan dan menjerumuskan pada
celah-celah dosa yang hanya akan berakhir di nerakan, na’udzubillah….
Akhirnya
kulantunkan sebuah syir puisi karya seorang pujangga tuli, Al-Islamabad.
“Di Suatu Sore”
Suatu
sore bulan dilangit terlihat indah
Keindahan
itu tak seberapa
Beberapa
waktu berikutnya
Kamu
datang menyapaku
dari
sela-sela lamunanku
kamu
datang demi aku
tangan
ini menggenggam erat tanganmu
perlahan-lahan
terlepas
menitikan
gerimis yg indah
perpisahan
kita hanya menunggu waktu
Tak
mungkin kita bertemu untuk berpisah
sabarlah
suatu saat kita pasti kan menyatu
Aku
datang demi ilmu
namun
aku besyukur bisa mengenalmu
kenangan
terindah dalam hidupku
terukir
dalam benakku
Fatimah
pun terpesona dan akhirnya mengangkat pandangannya ketika matanya yang bening
itu terlihat berbinar, angin sejuk menerpa dan menerbangkan dedaunan terlihat
riakkan air dikolam itu meniupkan perahu-perahu kertas yang dibuat kawan-kawan
Fatimah.
Fatimah
tersenyum dan berkata, “Puisi yang bagus sekali, siapa yang menulisnya?”
Aku
menjawab, “Puisi ini diciptakan oleh seorang pujangga tuli beberapa tahun yang
silam.”
“Seorang
pujangga tuli? Ah, yang benar saja?” Fatimah tidak percaya.
“Kamu
tidak tahu, pujangga tuli, penyair buta, penulis cacat, begitulah Allah Maha
Kuasa.” Kucoba menjelaskannya.
“Ya,
betul! Kamu bisa membuat puisi?” Tanya Fatimah.
“InsyaAllah!”
Jawabku singkat.
Sejak
itu kamipun menjadi lebih akrab, tetapi Fatimah tetap menciptakan batas yang
tak mungkin mampu kutembus. Aku pun semakin terinsfirasi untuk menulis
puisi-puisi tentangnya.
Sampai
suatu hari kami mendekati masa-masa belajar terakhir, sebentar lagi kami akan
mengikuti ujian Nasional. Akupun semakin tak karuan memendam sebuah perasaan
yang tak pernah mampu untuk kuungkapkan.
“Fatimah, Fatimah…” Aku memanggilnya, tapi tak tahu harus mengucapkan
apa.
“Ada
apa?” Tanyanya dengan suara yang lembut dan pelan, sambil berbalik.
Susah
sekali untuk kuungkapkan, namun lebih menyakitkan bila harus kupendam dan
takkan pernah tahu kebenaran perasaannya. “Fatimah, sudah cukup lama aku
mengenalmu dan saya tahu kamu seorang perempuan yang sangat menjaga kehormatan,
sangat sulit untuk saya ungkapkan karena saya terlalu malu, tapi inilah
kenyataannya bahwa saya mencintai kamu, saya berniat untuk melamarmu.”
Fatimah
menunduk sambil berkata, “Inilah yang selalu saya takutkan, ketika terlalu mendekat
dengan seorang Ikhwan.”
“Apa
maksud engkau?”
“Ma’afkan,
sudah sejak lama saya telah dilamar seorang Ikhwan yang lain, dia seorang yang
baik dan saya menyukainya, saya menunggu lulus dari madrasah untuk bisa menikah
dengannya.” Jelasnya.
Aku
pun mulai mengerti, Fatimah menolak cintaku untuk menjaga kesetiaannya pada
kekasih yang lebih dulu melamarnya. Fatimah telah membuktikan dirinya sebagai seorang
akhwat yang benar-benar soleha. Sedih, kecewa, menyesal dan sangat sakit hatiku
karena kegagalan dan ketidak beruntunganku. Tapi aku sadar ini semua adalah ujian
aku tidak mungkin memaksakan kehendakku padanya karena itu hanya akan merusak
kesolehannya.
Maka,
biarlah aku berjalan disore itu, diiringi gerimis yang membasahi diriku dan tak
terlihat secercah cahaya menyinariku, lalu kubiarkan diriku berjalan ditengah
semakin derasnya hujan.
Sumedang,
11 Maret 2013
Biodata
Penulis :
Namaku
Al-Islamabad atau biasa dipanggil Dadi Al-Islamabad, nama penaku Pujangga Deaf.
Saya berasal dari Tasikmalaya, tetapi sekarang ini saya tinggal dan
bersekolah di SLBN/B Pembina Tk. Prov. Jawa Barat, Jl. Margamukti, Ds. Licin,
Kec. Cimalaka, Kab. Sumedang 45353. Nama facebook saya Al Islamabad Pujangga
Deaf, alamat email : pujangga_deaf@rocketmail.com
Saya
seorang tuna rungu, dahulu saya pernah menjadi orang normal kemudian kehilangan
pendengaran sejak umur 12 tahun dan putus sekolah kelas 2 SMP tahun 2002 dan
karena kurangnya informasi saya tidak mengenal dunia tuna rungu dan Sekolah
Luar Biasa (SLB). Baru setelah ayah saya wafat tahun 2010 saya menyadari
orang-orang yang saya cintai satu per satu akan pergi dan suatu hari saya harus
mampu menjalani hidup sendiri, tapi saya melihat keadaanku yang tidak mampu
untuk mandiri. Saya merenung, kemudian menyadari saya harus bangkit dan
memiliki mimpi untuk diraih kemudian saya pun curhat kepada keluargaku tentang
keinginan saya untuk bisa mandiri, Alhamdulillah… air mata keluargaku menetes
menyadari hidup saya dan apa yang akan terjadi pada saya dimasa depan andai aku
tak punya siapa-siapa lagi. Akhirnya saudara saya mencari tempat kursus hingga
akhirnya pula saya memutuskan kembali masuk sekolah di SLBN/B Pembina. Disini
saya menyadari kelebihan-kelebihan yang saya miliki jauh melebihi kebanyakan
tuna rungu, sehingga saya sadar untuk menyukuri apa yang ada, dan sesungguhnya
dibalik kekurangan pasti terdapat kelebihan, dan sekarang saya berusaha untuk
meraih mimpi.
WAssalamu’alaikum.
Wr.Wb.
Komentar
Posting Komentar