Secercah Cahaya dan Gerimis




Disebuah bis kota aku berkhayal tentang dia, dengan kerudungnya yang menutupi dada dan jilbabnya yang terurai menutup selurh badannya membuat dia terlihat lebih manis dan polos sebagai seorang gadis yang sangat soleha. Pertama kali aku bertemu dengan Fatimah di halaman Madrasah Al Amanah waktu itu kami berpapasan, seketika rintik-rintik gerimis turun dari langit membasahi taman yang dihiasi dengan indahnya bunga-bunga yang bermekaran. Sengaja aku melangkahkan kakiku dengan pelan dan kubiarkan rintik-rintik gerimis membasahi tubuhku, wajahku, karena aku sadar sebentar lagi sang mentari akan segera datang membawa secercah cahaya dan panorama yang berwarna menciptakan keindahan dilangit yang bersemu biru mengindahkan suasana pada hari itu.

“Assalamu’alaikum… Afwan.” Fatimah berjalan dengan agak cepat, hingga saputangannya jatuh dan tertiup angin menyibakkan jilbabnya yang longgar.

“”Wa’alaikumsalam… Tafaddhol.” Segera kubalas ucapan salamnya, kemudian kubelokkan langkahku mengejar saputangan yang terbang melintang tertiup angin kencang.

“Jazakumullah khairan…” Fatimah, itu mengucapkan terima kasih kepadaku karena sudah kuambilkan saputangannya.

“Aamiiin, Waiyyaaka…” Jawabku dengan singkat, aku tidak bisa lagi berkata-kata.

Fatimah, gadis itu langsung melangkahkan kakinya menuju kedalam madrasah, tak peduli dengan suasana indah yang terjadi pada hari itu, atau mungkin dia hanya tidak mau tergoda oleh setan-setan yang hanya mendatangkan dosa.

Pada waktu itu aku tiada lain adalah murid baru pindahan dari sebuah madrasah dari kota lain. Memang sudah suatu keharusan bagiku untuk menuntut ilmu di madrasah, hal itu tiada lain adalah karena kedua orang tuaku seorang Ustadz dan Ustadzah yang setiap hari memberi ceramah kepada Ibu-ibu dan Bapak-bapak di Majelis Ta’lim.

Suatu sore  aku berjalan-jalan menyusuri sebuah taman yang dikelilingi pepohonan dimana terdapat burung-burung kecil yang bersarang saling menyahut berjuit-juitan. Aku duduk sebentar disebuah kursi yang tersedia sambil kulantunkan syair yang mengalir dengan keindahan bak sebuah sungai yang airnya jernih.

Fatimah mucul bersama gadis-gadis lainnya sambil membawa buku pelajaran, entah apa yang dilakukannya. Ia duduk dipinggir danau sambil membaca, lalu kuhampiri “Assalamu’alaikum…”

“Wa’alaikumsalam…” Fatimah menjawab singkat tanpa mengarahkan pandangannya dan tetap tertunduk membaca bukunya.

“Lagi baca buku apa?” Tanyaku.

“Buku keajaiban karya Harun Yahya.” Jawabnya, dia tidak mengidahkan keberadaanku.

Justru karena ketidak peduliannya itulah yang semakin membuatku tertarik akan misteri gadis yang sangat suci dengan menjaga dirinya baik-baik, menjauh dari segala godaan yang dengan mudah bisa sangat menyesatkan dan menjerumuskan pada celah-celah dosa yang hanya akan berakhir di nerakan, na’udzubillah….

Akhirnya kulantunkan sebuah syir puisi karya seorang pujangga tuli, Al-Islamabad.

“Di Suatu Sore”

Suatu sore bulan dilangit terlihat indah
Keindahan itu tak seberapa
Beberapa waktu berikutnya

Kamu datang menyapaku
dari sela-sela lamunanku
kamu datang demi aku
tangan ini menggenggam erat tanganmu
perlahan-lahan terlepas
menitikan gerimis yg indah

perpisahan kita hanya menunggu waktu
Tak mungkin kita bertemu untuk berpisah
sabarlah suatu saat kita pasti kan menyatu

Aku datang demi ilmu
namun aku besyukur bisa mengenalmu
kenangan terindah dalam hidupku
terukir dalam benakku

Fatimah pun terpesona dan akhirnya mengangkat pandangannya ketika matanya yang bening itu terlihat berbinar, angin sejuk menerpa dan menerbangkan dedaunan terlihat riakkan air dikolam itu meniupkan perahu-perahu kertas yang dibuat kawan-kawan Fatimah.

Fatimah tersenyum dan berkata, “Puisi yang bagus sekali, siapa yang menulisnya?”

Aku menjawab, “Puisi ini diciptakan oleh seorang pujangga tuli beberapa tahun yang silam.”

“Seorang pujangga tuli? Ah, yang benar saja?” Fatimah tidak percaya.

“Kamu tidak tahu, pujangga tuli, penyair buta, penulis cacat, begitulah Allah Maha Kuasa.” Kucoba menjelaskannya.

“Ya, betul! Kamu bisa membuat puisi?” Tanya Fatimah.

“InsyaAllah!” Jawabku singkat.

Sejak itu kamipun menjadi lebih akrab, tetapi Fatimah tetap menciptakan batas yang tak mungkin mampu kutembus. Aku pun semakin terinsfirasi untuk menulis puisi-puisi tentangnya.

Sampai suatu hari kami mendekati masa-masa belajar terakhir, sebentar lagi kami akan mengikuti ujian Nasional. Akupun semakin tak karuan memendam sebuah perasaan yang tak pernah mampu untuk kuungkapkan.  “Fatimah, Fatimah…” Aku memanggilnya, tapi tak tahu harus mengucapkan apa.

“Ada apa?” Tanyanya dengan suara yang lembut dan pelan, sambil berbalik.

Susah sekali untuk kuungkapkan, namun lebih menyakitkan bila harus kupendam dan takkan pernah tahu kebenaran perasaannya. “Fatimah, sudah cukup lama aku mengenalmu dan saya tahu kamu seorang perempuan yang sangat menjaga kehormatan, sangat sulit untuk saya ungkapkan karena saya terlalu malu, tapi inilah kenyataannya bahwa saya mencintai kamu, saya berniat untuk melamarmu.”

Fatimah menunduk sambil berkata, “Inilah yang selalu saya takutkan, ketika terlalu mendekat dengan seorang Ikhwan.”

“Apa maksud engkau?”

“Ma’afkan, sudah sejak lama saya telah dilamar seorang Ikhwan yang lain, dia seorang yang baik dan saya menyukainya, saya menunggu lulus dari madrasah untuk bisa menikah dengannya.” Jelasnya.

Aku pun mulai mengerti, Fatimah menolak cintaku untuk menjaga kesetiaannya pada kekasih yang lebih dulu melamarnya. Fatimah  telah membuktikan dirinya sebagai seorang akhwat yang benar-benar soleha. Sedih, kecewa, menyesal dan sangat sakit hatiku karena kegagalan dan ketidak beruntunganku. Tapi aku sadar ini semua adalah ujian aku tidak mungkin memaksakan kehendakku padanya karena itu hanya akan merusak kesolehannya.

Maka, biarlah aku berjalan disore itu, diiringi gerimis yang membasahi diriku dan tak terlihat secercah cahaya menyinariku, lalu kubiarkan diriku berjalan ditengah semakin derasnya hujan.

Sumedang, 11 Maret 2013

Biodata Penulis :
Namaku Al-Islamabad atau biasa dipanggil Dadi Al-Islamabad, nama penaku Pujangga Deaf. Saya berasal dari Tasikmalaya, tetapi sekarang ini saya tinggal dan bersekolah di SLBN/B Pembina Tk. Prov. Jawa Barat, Jl. Margamukti, Ds. Licin, Kec. Cimalaka, Kab. Sumedang 45353. Nama facebook saya Al Islamabad Pujangga Deaf, alamat email : pujangga_deaf@rocketmail.com

Saya seorang tuna rungu, dahulu saya pernah menjadi orang normal kemudian kehilangan pendengaran sejak umur 12 tahun dan putus sekolah kelas 2 SMP tahun 2002 dan karena kurangnya informasi saya tidak mengenal dunia tuna rungu dan Sekolah Luar Biasa (SLB). Baru setelah ayah saya wafat tahun 2010 saya menyadari orang-orang yang saya cintai satu per satu akan pergi dan suatu hari saya harus mampu menjalani hidup sendiri, tapi saya melihat keadaanku yang tidak mampu untuk mandiri. Saya merenung, kemudian menyadari saya harus bangkit dan memiliki mimpi untuk diraih kemudian saya pun curhat kepada keluargaku tentang keinginan saya untuk bisa mandiri, Alhamdulillah… air mata keluargaku menetes menyadari hidup saya dan apa yang akan terjadi pada saya dimasa depan andai aku tak punya siapa-siapa lagi. Akhirnya saudara saya mencari tempat kursus hingga akhirnya pula saya memutuskan kembali masuk sekolah di SLBN/B Pembina. Disini saya menyadari kelebihan-kelebihan yang saya miliki jauh melebihi kebanyakan tuna rungu, sehingga saya sadar untuk menyukuri apa yang ada, dan sesungguhnya dibalik kekurangan pasti terdapat kelebihan, dan sekarang saya berusaha untuk meraih mimpi.

WAssalamu’alaikum. Wr.Wb.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuli (Deaf)

The Little Hijabi Home Schooling

Pengertian Difabel dan Disabilitas