Dalam Dunia Sunyi
Tak
pernah seumur hidup aku merasakan indahnya kisah cinta, bermain-main dalam
suasana riang gembira, ketika embun fajar menetes dari dedaunan dalam
keheningan yang berkabut pagi, kicauan burung, tiupan angin, dan riakan air dari
danau dipinggir pondok Kakekku, Abdullah Bin Sa’ad. Pagi itu aku terbangun dalam keadaan tuli tak pernah kusangka semua akan menjadi begini.
Aku
begitu yakin satu atau dua hari aku akan pulih kembali, namun hari demi hari,
bulan demi bulan, lama sekali aku menunggu pendengaranku tak kunjung kembali
dan aku pun mulai beradaptasi hidup tanpa suara-suara, tiada lagi kicauan
burung-burung dari ranting pohon-pohon di hutan dan anak-anak kucing yang mengeong
memanggil ibunya, kini tiada lagi lolongan serigala disetiap malam yang
mengganggu kambing-kambing tetangga. Aku pun berlari sambil memendam
kekhawatiranku dalam-dalam.
“Dannie…..”
Suara Ipang, Usmar, dan Benny berteriak datang menjemputku pagi itu, seperti
biasa kami hendak berangkat sekolah bersama.
Setelah
aku menjadi tuna rungu aku menjadi malu, tak mau bertemu dengan tetanggaku,
bahkan teman-temanku, sampai-sampai lama sekali aku tak masuk sekolah. Aku
mencoba menerima keadaanku perlahan-lahan aku mulai keluar bergumul dengan
kehidupan yang tiada lagi aku kenal, kini semua mulai berbeda dan lambat laun akan
menghancurkan hidupku, memadamkan pelita yang menerangi jalan mimpiku. Dahulu
ketika aku masih sama seperti anak-anak lain, semua begitu mudah, aku bisa
beradu omong atau beradu otot dan menang. Kini aku sadari aku tak bisa apa-apa
lagi, sulit setiap hari memandang wajah orang-orang dan entah apa yang mereka
pikirkan. Aku hanya berusaha mengerti apa yang terucap dari bibir mereka, namun
semua begitu susah akupun menjadi kesal, kecewa, bertumpuk-tumpuk menjadi marah
dalam benakku.
Aku
menjalani hidup dalam keterasingan, menyepi sedirian dipinggir jalan aku
melangkahkan kakiku menuju jurang ingin rasanya aku terbang melayang, membuang
segala angan yang kini tinggal kenangan. Aku terduduk diantara batu-batu sedang
mataku menatap jauh danau luas dan bukit-bukit yang dibelah sungai yang
mengalir deras.
Akhirnya
aku kembali ke sekolahku, mereka menyambut baik kedatanganku sambil menatap iba
keadaanku, namun tak menyadari apa yang akan terjadi beberapa tahun didepanku.
Kehidupan yang dulu kurajai, kini tak lagi cocok untukku, lambat laun aku
menjadi sangat lemah, orang yang menjadi sahabat-sahabatku satu per satu
meninggalkanku menempuh jalan hidup masing-masing tanpa membawa diriku, aku
bersama dalam kisah mereka, aku pun berhenti sekolah, kini hidupku membeku
sedang waktu terus berjalan bersama anginan lalu, aku belum tamat SMP waktu itu
Aku
sadar aku adalah beban yang menyusahkan orang-orang disekitarku, teman-temanku,
sahabat-sahabatku, terutama keluargaku, aku adalah manusia yang tiada berguna,
tak ada satupun yang menguntungkan dari diriku. Aku berlari sambil bercucuran
air mataku, aku sadari kini aku hidup sendiri tak ada seorangpun yang mengerti,
aku merasakan seolah hidupku hanya menunggu mati. Angin sore yang sepoi meniup kearah
wajahku, hingga butiran air mata berwarna bening berjatuhan dibelakangku, aku
membiarkan dan tak mengusapnya.
Aku
terduduk dari di atas batu ditebing curam sambil merasakan terpaan angin yang
menambah haru birukan perasaanku. Kakekku yang tua renta, datang sambil
menyentuh pundak dari belakang menyapaku. “Sabarlah nak!”
Aku
tidak menjawabnya, kakekku duduk disebelahku tak tahu rasanya apa yang kupendam
didalam hatiku, aku sendiri tak berani mengungkapkannya kemudian beliau melangkah
pergi.
“Kemarilah
nak!” suatu sore kakek dan nenekku memanggil.
“Ada
pamanmu dari kota, kakek dan nenek sudah bicara besok kamu akan pergi ke kota,
kamu akan mencoba melanjutkan sekolahmu ditempat dimana seharusnya kamu berada”
Kakek berkata sambil menatap dengan matanya yang tua.
“Masuk
SLB?” Tanyaku.
“Iya
nak, kamu akan belajar disana, pamanmu akan membantu kamu nantinya.” Kata nenek
dengan mata berbinar.
“Tapi
nek, bagaimana dengan kakek dan nenek, siapa yang akan menjaga kalian jika saya
harus pergi?”
“Tak
apa-apa, kakek dan nenek masih punya tetangga, kapan-kapan kamu bisa pulang
kemari.”
Aku
tidak bisa berkata apa-apa lagi, disatu sisi aku merasa sedih jika harus
meninggalkan kakek dan nenekku, tapi disisi lain inilah yang aku inginkan, aku
menaruh harapan akan kehidupan yang lebih baik daripada hanya menunggu kematian
dan menjadi manusia yang tiada berguna. Aku pun pergi ke kota untuk pertama
kalinya dalam hidupku menjalani sebuah kisah yang baru, membangun impian, cita,
dan cintaku.
Angin
berhembus meniupkan dedaunan kering yang berguguran, kulihat serangga-serangga
capung yang berterbangan. Aku berjalan disuatu kumpulan, segalanya sangat baru
dan tak kukenal, kulihat sekumpulan orang yang mempermainkan tangan, saling
becakap-cakap dengan bahasa isyarat.
“Kamu
siapa nama?” salah seorang perempuan tuna rungu menyapaku dengan bahasa yang
kurang kumengerti.
Aku
tidak mengerti isyarat mereka, jadi aku minta menuliskannya. Dan aneh, entah
apa aku salah berucap atau mereka yang menggunakan bahasa daerah yang berbeda,
aku sungguh kurang mengerti yang mereka tuliskan.
“Namaku
Dani” Jawabku
“Kamu
asli dimana?”
Seharusnya
dia berkata “Asal kamu dari mana?” Tapi begitulah bahasa Indonesia anak-anak
tuna rungu. Aku mencoba memahami mereka lambat laun sampai suatu hari aku akan
mengerti dan menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Suatu
sore, seorang gadis memegang tanganku, dia menyeretku ke sebuah tempat diikuti
anak-anak tuli lainnya. Gadis itu mencoba mengajariku bahasa isyarat.
“A,
B, C,” gadis itu mengajariku alphabet sambil menunjukkan isyaratnya.
“Nama kamu siapa?” ditulisnya dikertas.
“Naamaaa,
kaamuuu, siiiaaapaaa?” dia mempraktekkan isyaratnya aku pun mencoba menirunya.
“Naamaaa
saayaaa Err iii eyy aaa enn nii, Riiyaaaniiii.” Dia menyebut namanya
“Namaa
sayaa Dee,” Aku kebingungan menggunakan alphabet bahasa isyarat, kemudian dia
mencoba membantuku memahami namaku dengan bahasa isyarat.
Riyani,
gadis itu begitu cantik dan lucu, dan juga baik hati, mengajari aku bahasa
isyarat. Dia membukakan suatu awal dari sebuah kisah cerita tentang aku dan
kehidupan baruku bersama anak-anak tuna rungu, memperkenalkan diriku hingga
semua orang mengenalku, tahu akan kelebihan dan kekuranganku. Dan kini aku
merasakan, aku telah menemukan duniaku, dunia tempat dimana seharusnya aku
berada. Aku merasa hidupku kini lebih berguna, kini pelita mimpiku menyala
kembali, menerangi jalan hidupku untuk menggapai cita dan cintaku. Kini tak
lagi aku, hidup hanya untuk menunggu mati.
Sumedang,
05 Maret 2013
Biodata
Penulis :
Namaku
Al-Islamabad atau biasa dipanggil Dadi Al-Islamabad, nama penaku Pujangga Deaf.
Saya berasal dari Tasikmalaya, tetapi sekarang ini saya tinggal dan
bersekolah di SLBN/B Pembina Tk. Prov. Jawa Barat, Jl. Margamukti, Ds. Licin,
Kec. Cimalaka, Kab. Sumedang 45353. Nama facebook saya Al Islamabad Pujangga
Deaf, alamat email : pujangga_deaf@rocketmail.com
Saya
seorang tuna rungu, dahulu saya pernah menjadi orang normal kemudian kehilangan
pendengaran sejak umur 12 tahun dan putus sekolah kelas 2 SMP tahun 2002 dan
karena kurangnya informasi saya tidak mengenal dunia tuna rungu dan Sekolah
Luar Biasa (SLB). Baru setelah ayah saya wafat tahun 2010 saya menyadari
orang-orang yang saya cintai satu per satu akan pergi dan suatu hari saya harus
mampu menjalani hidup sendiri, tapi saya melihat keadaanku yang tidak mampu
untuk mandiri. Saya merenung, kemudian menyadari saya harus bangkit dan
memiliki mimpi untuk diraih kemudian saya pun curhat kepada keluargaku tentang
keinginan saya untuk bisa mandiri, Alhamdulillah… air mata keluargaku menetes
menyadari hidup saya dan apa yang akan terjadi pada saya dimasa depan andai aku
tak punya siapa-siapa lagi. Akhirnya saudara saya mencari tempat kursus hingga
akhirnya pula saya memutuskan kembali masuk sekolah di SLBN/B Pembina. Disini
saya menyadari kelebihan-kelebihan yang saya miliki jauh melebihi kebanyakan
tuna rungu, sehingga saya sadar untuk menyukuri apa yang ada, dan sesungguhnya
dibalik kekurangan pasti terdapat kelebihan, dan sekarang saya berusaha untuk
meraih mimpi.
WAssalamu’alaikum.
Wr.Wb.
Komentar
Posting Komentar