Butuh Perjuangan Untuk Pendidikan Inklusi

Wednesday, Sep 30 2015

Narasumber : Nurul Afifah


Pertama kali mendapat kabar tentang beasiswa yang saya peroleh dari sebuah Universitas yang terletak di kota Bandung, saya merasa senang sekali karena impian saya untuk menuntut ilmu lebih tinggi akhirnya terpenuhi tanpa harus terlalu membebani orang tua.

Awalnya pikiran saya tentang Universitas ini adalah seperti kampus biasanya yang inklusif, saya pun merasa bersemangat sekali. Akan tetapi, seiring perjalanan waktu muncul hal-hal yang tidak saya sukai karena tidak sesuai dengan apa yang saya harapkan dari dunia pendidikan. Harapan saya adalah berkuliah untuk mendapatkan ilmu agar nantinya akan saya pergunakan untuk menggapai cita-cita yang tinggi yaitu menguasai keterampilan DKV dan Desain Grafis.

Pertama kali masuk kuliah, saya mengikuti ospek selama tiga hari dan ketika itu kami tidak diperbolehkan menggunakan bahasa isyarat. Dosen bilang kami harus pakai bahasa oral supaya nanti bisa mudah berkomunikasi di tempat kerja yang kebanyakan orangnya normal. Memang itu tidak masalah bagi saya karena saya cukup bisa memahami bahasa oral seperti saat masih SMA dahulu.

Akan tetapi, pemaksaan-pemaksaan untuk menggunakan bahasa oral serta pelarangan untuk berbahasa isyarat membuat saya merasa kurang nyaman. Saya berpikir bahwa kaum tuli lebih baik menggunakan bahasa isyarat karena bahasa isyarat adalah bahasa asli kaum tuli. Dengan bahasa asli tersebut kaum tuli akan lebih mudah dalam memahami dan mempelajari ilmu. Seperti misalnya, akan lebih mudah memberikan informasi kepada orang Inggris dengan bahasa inggris dari pada menggunakan bahasa indonesia karena bahasa inggris adalah bahasa asli orang Inggris, mereka akan lebih mudah memahami informasi jika digunakan bahasa yang sesuai dan mereka pahami.

Sebagai contoh pentingnya bahasa isyarat untuk kaum tuli dari pada bahasa oral, jika seorang tunarungu menghadiri acara ceramah, si tunarungu ini pasti tidak akan paham dengan apa yang sudah disampaikan oleh sang penceramah meskipun dia pandai berbahasa oral. Akan tetapi seandainya ada penerjemah bahasa isyarat disamping sang penceramah pasti si tunarungu ini akan lebih mampu memahami apa yang disampaikan oleh sang penceramah. Jadi tidak mungkin kalau ada orang Afrika datang ke Indonesia kemudian mendengarkan ceramah berbahasa indonesia, pasti si orang Afrika ini tidak akan mengerti.

Lebih parah lagi, di kampus itu kami juga diharuskan belajar mendengar suara-suara padahal kami tidak bisa mendengar. Saya menjadi tidak nyaman dengan pemaksaan-pemaksaan seperti ini, saya merasa seperti bahwa mereka menganggap tunarungu orang sakit dan mereka berusaha untuk menyembuhkannya. Padahal sekarang ini sudah banyak kaum tuli maupun orang normal yang menyadari bahwa tuli bukanlah penyakit yang harus disembuhkan, melainkan kehendak Allah Yang Mahakuasa untuk menciptakan makhluknya dengan perbedaan-perbedaan. Nah, kaum tuli juga termasuk yang memiliki perbedaan bahasa dalam berkomunikasi sehingga orang tuli dan orang dengar ini sama halnya antara orang indonesia dengan orang inggris, kita adalah manusia normal yang sama, hanya saja bahasa kita yang berbeda.

Berkali-kali dosen memaksa kami untuk mendengarkan musik, saya pikir itu sangat konyol karena jelas-jelas saya tidak dapat mendengar. Coba kalau dosen suruh orang buta melihat, sekeras apapun mereka memaksa, tetap saja orang buta tidak akan dapat melihat kecuali hanya karena Allah. Kadang saya berpikir, coba seandainya dosen menutup kedua telinganya rapat-rapat hingga tidak dapat mendengar suara. Bisakah mereka mendengarkan musik? Mereka memaksakan hal-hal yang mereka sendiri tidak tahu karena mereka tidak pernah merasakan bagaimana menjadi seorang tunarungu dan sepertinya mereka tidak mengenal bagaimana bentuk kehidupan di dunia tunarungu.

"SUDAHKAH MENDENGARKAN MUSIK HARI INI?"

"KALIAN HARUS BERUSAHA UNTUK MENDENGARKAN MUSIK."

Begitulah catatan-catatan dari dosen untuk kami.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuli (Deaf)

The Little Hijabi Home Schooling

Pengertian Difabel dan Disabilitas