Jalan Jauh


 
Suatu pagi aku berdiri di pintu gerbang sekolahku, dengan nilai raport 1010 yang tertulis dikertas kugenggam erat ditanganku. Aku hendak pulang menuju rumah ibuku. Meskipun 1010 adalah nilai tertinggi dikelas bahkan sekolahku, diantara teman-teman tuna rungu. Namun, aku sadar itu takkan cukup untuk membuat ibuku bangga. Kecuali, jika suatu hari nanti aku bisa mandiri, mengangkat dan meringankan beban ibuku.

Sebelum aku melangkahkan kaki meninggalkan pintu gerbang sekolahku, aku menghening. Terulang memori setengah tahun yang lalu, ketika pertamakali aku datang kemari dengan langkah malu-malu dengan sikap yang begitu pendiam dan keterampilan yang tertinggal jauh.

“Saat Dunia berlalu bersama waktu,
sedang’kan aku membeku
dan kini yang tesisa,
hanyalah puing-puing batu
yang terukir diatasnya
sebuah kisah yang telah lalu

Sembilan tahun berlalu
Kini kucoba bangkit kembali
menembus langit biru
menuju dunia baru”

Beberapa bait dari puisiku, kuingat kata-kata lain yang kuedit dari sebuah majalah dan takkan kulupakan. ”Lihatlah apa yang kudapatkan selama sembilan tahun. Jangankan untuk mengintip dunia melalui kecanggihan internet, untuk sekedar berkenalan dengan program Mikrosoft Office-pun aku belum pernah. Apa itu Microsoft Word atau Microsoft Excel? Aku tidak mengerti karena memang aku tidak pernah sekali pun berkenalan. Sungguh, suatu pembonsaian yang sangat memperihatinkan.
Ya, sudahlah! Sekarang yang harus kulakukan adalah belajar dengan sebaik mungkin. Agar bisa mengejar ketinggalan di bidang keterampilan.
Kulihat sebuah harapan baru, harapan untuk lebih mengembangkan pengetahuan dan wawasanku, harapan untuk lebih memperdalam keahlianku, juga harapan akan masa depan yang lebih baik.”
Kata-kata itu sangat mengisfirasiku, dan akupun terus berjuang dan berusaha untuk bangkit, walau kegagalan demi kegagalan selalu menghiasi jalan hidupku.
Suatu hari aku ingin membuat e-mail. “Kak Uwi, bisa tidak ya belajar bikin e-mail di komputer sekolah?” tanyaku pada salah satu guruku.
“Gak bisa! Tak ada jaringan internet di sekolahnya.” Jawabnya
“Kalau mau bikin e-mail diwarnet aja!” Tambahnya
“Kak Uwi mau bantu?” Tanyaku lagi.
“Iya, Kak mau bantu kamu.”
“Makasih!”
“Sama-sama!” Kak Uwi mengakhiri percakapanku lewat SMS.
Keesokan harinya kami ngobrol diruang komputer ”Dadi, kamu mau bikin e-mail ya?”
“Iya, kak!” jawabku
“Disini gak bisa, gak ada jaringan internetnya, kalau mau bikin e-mail diwarnet aja, ya!”
“Tapi kak Uwi mau bantu’kan?”
“Iya mau, tapi kalau sering ke warnet bisa boros! Kalau bisa, beli modemnya, tapi yang murah aja, jangan mahal-mahal!”
Menjelang lebaran aku pulang kerumah Ibuku dan kuungkapkan keinginanku untuk beli modem kepada Ibu dan Saudariku, mereka mendukung tapi entahlah, bukanya aku membeli modem malahan Ibuku sepakat untuk membeli laptop bekas seharga tiga juta . Aku merasa tidak enak karena untuk membeli laptop Ibuku harus mengambil tabungannya yang memang tidak banyak itu. Ibuku berharap dengan membeli laptop aku bisa lebih cepat pintar dan mengetahui banyak hal.
Pada suatu hari disekolah, Ibu Melanie  guru Bhs. Indonesia baru saja memberi tugas untuk membuat surat pribadi dan ketika Bu Mel membaca surat karanganku, beliau mengetahui keinginanku untuk menjadi seorang penulis, kemudian ia pun memintaku untuk menunjukkan hasil karyaku.
“Dadi, ibu mau lihat karya tulis kamu, kalau bagus Ibu mau bantu kirim ke koran kalau dimuat, kamu bisa dapat uang.” Kata bu Mel disela-sela pelajaran Bhs. Indonesianya.
Kata-kata bu Mel seolah-olah telah menunjukan langkah berikutnya yang harus kuambil untuk menjadi seorang penulis, dan juga menambah semangat bagiku untuk membuat lebih banyak karya tulis. Lalu, kuserahkan beberapa karya tulisku kepada beliau.
Beberapa hari kemudian aku bertanya, “Bu, kira-kira kapan puisi saya bisa dimuat dikoran?”
“Ibu belum tau, mungkin seminggu. Kamu tunggu aja ya, nanti kalau sudah ada kabar, ibu kasih tau kamu!”
“Iya baiklah bu!”
Setelah seminggu aku berharap-harap, tapi aku belum juga dapat kabar yang pasti dari bu Mel.
“Bu, bagaimana kabar puisinya?” tanyaku pada suatu hari kepada Ibu Mel. Namun, jawaban yang kudapat tidak seperti yang kuharapkan, bu Mel kembali menyuruhku agar terus menunggu.
Sambil menunggu kupikir lebih baik kalau aku belajar membuat email dan mencoba mengirim karya tulisku sendiri agar tidak terlalu merepotkan orang lain.
Dengan adanya internet disekolah yang baru dipasang, aku bisa belajar internet tanpa harus menunggu untuk bisa membeli modem, akupun mulai sering berkutat dengan internet disekolah. Dengan minmnya bimbingan akupun berusaha mempelajari internet sendiri, untunglah aku memiliki jiwa otodidak yang baik, sehingga aku bisa belajar banyak hal walau hanya sendirian.
Tak boleh ada kata menyerah jika ingin menuai keberhasilan, demikian juga yang kulakukan walau semuanya masih sulit namun aku tetap berusaha, dan hal pertama yang harus kulakukan adalah memiliki alamat email sendiri agar bisa mengirim sendiri karya-karya tulisku.
Untuk membuat email sebenarnya sangat mudah, tapi karena aku masih gaptek (gagap teknologi) masih sangat baru di dunia internet komputer, aku jadi agak kesulitan untuk membuatnya. Aku sudah pernah minta bantuan beberapa guruku, tapi tak ada satupun yang benar-benar membantuku. “Ya gak apa-apalah, mungkin mereka pada sibuk.” Jadi, aku harus bersabar dan terus berusaha sendiri, kucoba minta bantuan kak Uwi, dia mau membantuku, tapi ternyata ia sendiri kurang memahaminya, untunglah dia baik hati sehingga dia meminta rekannya untuk membantuku. Dengan adanya bantuan akhirnya aku mampu membuat alamat emailku dan langsung kucoba dengan mengirimkan salah satu puisi karyaku.
Keesokan harinya aku hendak membuka alamat emailku, tapi sial ternyata alamat emailku tak bisa dibuka, akhirnya kubuat alamat email baru dengan nama yang sama, kemudian kukirim email untuk menanyakan nasib puisiku yang kemarin, namun jawabannya selalu sama yaitu, “failure notice” pada waktu itu, kata-kata itu selalu kuabaikan.
Keesokan harinya kucoba lagi untuk membuka alamat emailku yang kemarin, aku mulai berpikir bahwa emailku akan seperti kemarin, (tak bisa dibuka). Dan ternyata apa yang kutakutkan pun akhirnya menjadi kenyataan, “sila, sial, sial,” aku sangat kesal sekali, tapi aku sadar betul bahwa kegagalan adalah hal yang biasa dilewati saat seseorang hendak berusaha untuk mencapai kesuksesan. Aku tidak menyerah, kuputuskan untuk membuka emailku diwarnet dan “Subhanallah” ternyata emailku bisa dibuka, sejak itu aku lebih sering membuka dan mengirim emailku diwarnet.
Pada suatu malam, kembali kucoba mengirimkan salah satu karyaku lagi, namun lagi-lagi selalu dibalas dengan email berjudul “failure notice”. Aku mulai curiga dengan kalimat bahasa Inggris itu, dan akupun mulai berfikir, “jangan jangan failure notice itu artinya,,,,” aku mulai memikirkan kata “fail” yang kutahu atinya adalah “kegagalan” dan “note” yang artinya “catatan” kuambil kamus lalu kucari kata itu, dan apa yang kudapat tepat seperti yang kupikirkan. Ternyata, selama ini aku telah gagal mengirimkan karya-karya tulisku. Aku merasa kecewa, tapi juga senang, “kenapa?” Ya, kecewa karena gagal, tapi juga senang  karena akhirnya puisi-puisiku aman-aman saja, aku bebas mengirimkannya lagi ke alamat media massa yang lain.
Setelah aku menyadari kegagalan-kegagalanku aku tak berhenti dan berputus asa aku masih terus berusaha mencari alamat-alamat media massa yang lain, tapi apa yang kudapat? Aku malah semakin pusing. Hingga suatu waktu, ketika aku sedang belajar di ruang komputer, seorang guru menyarankan agar aku mengumpulkan karya-karyaku agar bisa dibuat buku. Kata-katanya memberiku insfirasi, sehingga aku memutuskan untuk memutar halauan. Setelah hari itu, aku memutuskan untuk fokus membuat karya tulis dan mengumpulkannya agar suatu hari jika karyaku telah cukup banyak dan cukup bagus, aku bisa membuat karya tulis dalam bentuk sebuah buku milikku sendiri.
 Walaupun aku mengalami kegagalan dalam usaha untuk bisa mengirimkan karya tulisku ke media massa, aku tidak akan menyerah sampai disini, karena aku sadar bahwa kegagalan adalah bagian dari hidup, kegagalan adalah awal dari kesuksesan, semua orang sukses adalah mereka yang pernah mengalami kegagalan, dan keuletan serta perjuangan tak kenal lelah adalah apa yang akan membuat orang sukses.
Angin bertiup kencang menerbangkan dedaunan yang berguguran dari pohon-pohon dan ranting-ranting kering, langit mulai terlihat cerah, sepertinya ini hari yang bagus untuk pulang. Kususuri jalanan Margamukti, Ds. Licin, kemudian menaiki angkot di Cimalaka menuju budaran Alamsari. Aku menghela nafas beristirahat sambil menunggu bis yang melaju menuju Tasikmalaya. “Hufht,,,, lama sekali datangnya bis” dalam hati aku berkata agak kesal, karena hari mulai siang dan aku berharap bisa sampai di Tasik sebelum sholat Jum’at. Kucoba tuk terus bersabar menunggu kedatangan bis.
“Alhamdulillah, nah ini dia!” Akhirnya datang juga bis kota yang akan menuju ke Tasikmalaya.
“Urgh,,,, sudah hampir jam sebelas, aku pasti akan terlambat mengikuti sembahyang sholat Jum’at!” Pikirku
Ternyata memang benar, pas sekali begitu bis yang aku tumpangi sampai di terminal Tasimalaya, kulihat orang-orang baru pada keluar mesjid yang ada di komplek terminal itu. “Ah, aku terlambat mengikuti sembahyang jum’at.” Karena terlambat jadi kuganti saja dengan shalat dzuhur 4 raka’at.
Begitu selesai shalat, kuambil recehan dari sakuku lalu kumasukan ke kotak amal. “Aaah,,,” lega rasanya saat kita selesai menunaikan kewajiban hati kita menjadi tenang dan tentram, tentu saja perasaan itu tak berguna bagi orang yang tak serius menjalankan agama.
Dari terminal selanjutnya aku melangkahkan kaki menuju rumah Ibuku, setelah beberapa bulan akhirnya aku bisa melepas rasa rinduku pada rumah dan keluargaku, terutama ibuku yang sejak setahun setengah yang lalu ditinggal ayahku tercinta menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa, kini Ibuku tinggal sendiri bersama saudaraku yang hidupnya agak kesusahan. Dirumahku tak ada apapun, tak ada makanan atau minuman yang bisa disediakan, selain segelas air putih untuk melepas dahagaku.
Sambil beristirahat, kusodorkan beberapa lembar kertas, yang tiada lain ialah buku raporku yang saat masih berupa fotocopynya, karena buku raporku sama sekali belum jadi. Ibuku membukanya aku berharap ada kebahagiaan terpancar dari wajahnya, namun seperti yang aku duga, nilai 1010 tak cukup untuk membuatnya bangga, Ibuku sangat berharap aku mampu menjadi orang yang bisa hidup mandiri.
Pada suatu waktu ketika Ibu sedang menelepon saudariku, kulihat air mata menetes dari wajahnya, hatiku pedih melihatnya, aku tak tahu kenapa, tapi aku sadar semua tidak lain adalah karena aku, aku terlalu banyak meminta dan tak pernah membuat Ibuku bangga. Aku menatapnya baik-baik, seketika rintikan air mata ibu berubah menjadi percikan api yang membakar semangat di jiwaku. Aku berjanji aku akan berusaha sekeras dan sekuat aku mampu untuk berhenti “menjadi batu dipundak Ibuku”. Jalan jauh yang membentang luas itu bagai duri dalam mimpiku.

                                                                                                Sumedang 12, Maret 2012
                                                                                                            Oleh : Dadi Al-Islamabad





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuli (Deaf)

The Little Hijabi Home Schooling

Pengertian Difabel dan Disabilitas